Friday, October 30, 2015

Semua Sayang Ilham

SEMUA SAYANG ILHAM
Andiana Moedasir


Hari sudah menjelang sore. Matahari juga sedang bersiap untuk pamit dari pandangan mata. Teddy, Mario, Ilham, Agus, dan Johan sedang merapikan tempat untuk nonton bareng pertandingan bola antara Liverpool melawan Arsenal. Keseruannya sudah terasa di kafe milik pamannya Agus ini.
Sementara Kinan, Rosa, Sri, Tetty, dan Vina tampak sibuk menyiapkan camilan dan minuman untuk para pengunjung. Acara baru akan mulai tiga jam lagi, namun suasananya sudah riuh. Kepulan asap rokok di smoking area membuat sebal Tetty yang paling bawel di antara kelima mahasiswi tingkat tiga tersebut. “Gini hari itu tempat udah banyak sampah puntung rokok aja,” dengusnya sambil merapikan masker dengan jengkel.

“Sabar. Setelah beresin lemper dan donat, kamu bisa melipir ke lantai dua sana. Aman dari asap rokok,” Rosa nyengir. Gadis paling kecil badannya itu menepuk punggung Tetty lembut.

“Lagian, dari atas juga bisa lah tebar pandangan ke bawah. Lebih leluasa,” ledek Vina yang bertubuh seperti super model itu.

“Ih, aku ikut Tetty ah nanti ke atas,” samber Kinan dengan suara kenesnya. Si manja ini bukannya kegenitan, hanya karena suaranya agak cempreng, kemanjaannya memang dua kali lipat dari anak sekolah.

“Kamu tuh, ya? Nggak bisa ngeliat kerumunan cowok, semangat banget,” suara Sri dari balik meja. Dia sedang merapikan taplak putih dengan aneka jarum pentul. Si pendiam ini memang pelit bicara, tapi sangat perhatian kepada keempat temannya.

“Hadeh, nggak ada yang seganteng Rossi hari ini,” Tetty celingukan menyisir meja-meja yang mulai terisi.

“Valentino Rossi? Mulai deh kumat kalo udah bahas pebalap itu. Ngobrolnya sama Ilham mulu sih, jadi keracunan balapan,” Rosa memonyongkan bibirnya. Dia memang sebal dengan aneka atribut balapan atau hal yang bersinggungan dengan motor, mobil, jalan raya, atau hal sekitar dunia kebut-kebutan itu.

“Ya, gapapa juga keleus,” Tetty menyipitkan matanya yang memang sudah sipit.

“Apa sih manfaatnya kebut-kebutan begitu? Uji nyali doang?” Rosa bertanya dengan pandangan sinis.

“Olahraga keren, tauk!” Teddy menyambar dari belakang Kinan. Dia membawa satu krat minuman ringan. “Ini buat di lantai dua. Chiller di atas masih penuh sih. Nanti yang jaga di atas siapa sih?”

“Aku sama Sri,” jawab Tetty sambil mengunyah cokelat putih oleh-oleh dari Mario.

“Oke. Sampai nanti lagi. Kita bagi tugas. Semoga lancar hari ini. Oh, Tuhan. Siaran final ini bikin aku meriang. Pamannya Agus sampe wanti-wanti aku...” Teddy mengerang.

“Untuk tidak membuat para pengunjung merasa kecewa,” sambung Johan, sambil membawa tiga plastik besar berisi kacang atom, cokelat batangan, keripik kentang, dan beberapa bungkus permen.

“Pesta sesungguhnya akan hadir setelah nobar. Gue suka gaya lo!” Ilham tertawa dari arah meja kasir. Dia baru selesai mengecek jumlah pesanan yang akan siap tiga puluh menit lagi.
Johan melongok ke bawah dan mengacungkan jempolnya.

“Hurry up. Time is set. Kids!” suara bariton Om Jimmy menggema. Semua orang yang mengenalnya sudah paham, jika dia berteriak seperti itu, semua meja harus sudah terisi minimal enam botol minuman berkarbonasi dan dua piring besar camilan agar tak ada lagi orang lalu lalang.

Meski banyak aturan, kafenya tak pernah sepi. Om Jimmy royal untuk memberi pelayanan terbaik bagi pengunjung. Dia juga bawel untuk urusan keselamatan sesiapa yang datang ke kafe. Termasuk keselamatan mereka yang membawa kendaraan. “Hey, Mario! STNK mobilmu sudah beres?” “Rosa! Kemarin Om dengar motormu diserempet sedan? Jangan ngelamun, dong. Tapi kamu nggak luka, kan?” “Johan, jangan lupa helm dan jaketnya. Kemarin ketinggalan ya?”


***


Om Jimmy pernah mengalami tabrakan saat usianya 19 tahun. Motornya dicium truk pengangkut pasir dan dia terpelanting sejauh tigapuluh meter. Beruntung, dia memakai helm ketika kepalanya menabrak tembok sebuah rumah. Dia koma selama hampir dua minggu. Sejak saat itu, dia menjadi bawel kepada semua orang yang ditemuinya. “Keselamatan adalah segalanya. Tertib berkendaraan dan lengkapi semua atributnya. Tanpa tapi.”

Di kafenya, ada tempat penyimpanan helm, jaket, dan bahkan loker khusus untuk penitipan kunci mobil dan motor. Di lantai tiga ada tiga kamar kosong bagi pengunjung yang kemalaman, atau dari luar kota dan tak menemukan tempat menginap. Free of charge. “Terms and conditions apply,” lanjut Agus ketika Rosa berkunjung ke kafe itu pertama kali.

Iya, boleh menginap gratis untuk pengunjung kafe dengan catatan: gila bola. Johan pernah manyun karena dia tak begitu menyukai sepakbola. Dia adalah pebasket dan menjadi seorang point guard andalan timnya. “Yah, Om. Nasib anak perantauan, Om. Baru juga sampai dari kampung ke kota besar ini, masa sih nggak dapet keringanan?” rajuknya sambil menyodorkan sebungkus amplang.

“Jiah, nyogok dia,” Mario meledek dari arah dapur. Si karateka ban cokelat itu memang jago memasak. Saat itu dia sedang memasak capcay a la Mario dan dorayaki.

“Ah, berisik!” Johan mendelik.

“Boleh saja kalau kamu mau menginap gratis di sini sesekali jika kemalaman dari kampung sebelum ke kost. Syaratnya, cuci lima motor,” Om Jimmy terkekeh.

“Baiklah, Om. Syaratnya diterima deh. Jadi, kalau suka bola, bisa gratis beneran?” Johan masih hendak meyakinkan dirinya.

“Nggak juga lah. Boleh jadi waiter sehari, atau nyuci piring, atau masak kayak Mario gitu. Tapi kalian boleh makan apa saja di sini. Bebas. Oh ya, catatan satu lagi. Tidak ada yang boleh minum minuman keras dan alkohol di seluruh area kafe ini. Parkiran, dapur, WC, kamar, dan semua sudutnya. Disediakan area khusus bagi perokok yang ada penyekat kacanya itu.” Om Jimmy berlalu berbicara dengan pilihan kata yang njelimet.

Dan dia pun mengomel saat pertama kali bertemu Tetty dan Vina. Motor bebeknya Tetty menabrak pohon mangga golek kesayangannya. “Matamu ditaruh di mana, Nona? Saya marah karena beberapa mangga belum matang berjatuhan dan saya makin marah melihat kamu tidak pakai helm dengan benar. Baru nabrak pohon saja, kamu sudah terluka cukup panjang di bagian betis. Kepalamu pusing? Tentu saja,” cerocosnya sambil terus membebat luka Tetty.

“Hey Cahyo, buatkan teh madu untuk Nona sok tahu ini. Untuk penumpangnya, buatkan teh jahe,” teriak Om Jimmy ke arah dapur.

“Dia bukan penumpangku. Dia Vina, teman sekelasku. Dan namaku Tetty, bukan nona sok tahu,” protes Tetty. Vina meringis.

“Ya, sekarang istirahat saja dulu. Jangan banyak ngomong. Untungnya tak harus ke rumah sakit,” Om Jimmy menyelesaikan pengobatan Tetty. “Oh ya, setelah sembuh nanti, ganti helm kamu itu. Sekalian cek lagi rem dan as. Jangan lupa periksa mata ke dokter.”

“Untuk apa?” Tanya Tetty bingung.

“Siapa tau kamu rabun, tak bisa membedakan mana parkiran dan mana taman,” jawab Om Jimmy dengan muka jahil. Dia tertawa lepas dan menghilang ke ruang kerjanya, meninggalkan Tetty yang keki dan Vina yang nyengir sambil menggaruk kepalanya salting. Dia merasa bersalah karena dialah yang tadi mengarahkan Tetty untuk mengambil arah kanan. Maksudnya ingin mengambil lahan parker yang kosong di pojok, tapi ternyata motornya bablas sampai ke area taman.


***



Teddy dan Ilham mendapat tugas baru dari dosennya untuk membuat survey tentang perilaku pengguna jalan raya. “Apa hubungannya dengan mata kuliah perilaku konsumen, Ham?” Tanya Kinan bingung. Matanya menatap Ilham polos. Ilham menengok ke arah gadis cempreng di sebelahnya.

“Begini, Nan,” Ilham membetulkan posisi duduknya hingga badannya menghadap Kinan sepenuhnya. “Kamu calon arsitek. Coba kamu tarik garis lurus dari gerbang kampus ke zebra cross yang di pengkolan sebelah sana,” ujarnya dengan wajah serius.

*Pletak* Kinan menimpuk kepala Ilham dengan jengkel. “Reseh! Udah ah! Nggak butuh bantuanku juga kan?” Gadis berambut agak pirang itu melengos ke kasir.

“Nan, bayarin aku juga yah? Da bageur.” Teddy mengedipkan mata genitnya. Kinan menatap pacarnya dengan bĂȘte.

“Iya, nanti honor ngemsi tolong ye, beliin jaket di tokonya Sri. Kan bapaknya sekarang buka toko perlengkapan kemping gitu deh. Kemaren ngecek di blognya. Lucu deh warna orennya. Aku bayarin afogato kamu,” Kinan mengedipkan mata kirinya penuh kemenangan.

“Tapi kamu kan nggak doyan kemping. Doyannya kebut-kebutan. Anak manja yang aneh,” dengus Ilham menyalakan rokoknya.

“Menjadi anti mainstream. Anak manja tidak identik dengan menye-menye,” Kinan mengibaskan rambutnya.

Teddy sibuk membolak-balik selebaran yang baru dia terima dari Johan kemarin. Peraturan berlalu lintas. Pidana Pengguna R2. Lumayan juga dendanya, gumam Teddy sambil manggut-manggut. Tidak memiliki SIM bakalan kena sejuta? Teddy mengerang. Saat SIM kakaknya mati dua tahun lalu, dia terpaksa menguras tabungannya. Honor magang di kantor arsitek habis dalam sehari.

“Yaelah, nelepon sambil nyetir aja denda gocap?” Ilham tampak terkejut.

“Emangnya lu kagak tau?” Teddy bingung.

“Gue kagak pernah peduli beginian. Lah aturan ini aja gue baru tau,” Ilham mengibaskan tangannya meremehkan.

“Beuh, yang begini deh, alay. Bikin lalu lintas semrawut. Makhluk macam elu biangnya,” Mario menyela sambil mendekat ke meja tempat teman-temannya berkumpul.

“Ya, elu liat aja deh tuh motornya yang selalu diprotes Om Jimmy. Modifikasi. Spion hanya di kanan, platnya nggak standar, dan yang paling menyolok…” Tetty menyahut dengan nada mencibir.
“Helmnya tidak SNI,” potong Johan.

“Udah puas bully gue?” Ilham menguap.

“Terakhir lu ditilang dua hari lalu kan?” Tanya Tetty retorik.

Ilham bergeming. Dia menatap teman-temannya satu per satu. Mengapa semuanya terlihat rempong melihat kelakuannya yang selalu melanggar aturan berlalu lintas? Apakah kebetulan juga dosennya menyuruh tugas tak mengenakkan ini? Artinya dia harus berkendara menggunakan jaket, helm standar, dan motor dengan dua spion saat melakukan surveinya.

Tadi pagi, Teddy tertawa saat Pak Ramli memberikan tugas nyeleneh itu padanya dan Ilham. Apa hubungannya dengan mata kuliah yang sedang dijalani? Sekarang, mata semua temannya seperti menanti jawaban darinya untuk menyelesaikan tugas aneh itu. Ilham menelan ludah. Peraturan itu ada untuk dilanggar. Demikian dia selalu membela diri.


***
photo credit by: @BandungCleanAction 



Akhir pekan yang indah di daerah Jalan Merdeka. Kota Bandung selalu ramai dan penuh wisatawan lokal di beberapa titik wisata. Ilham dan Teddy sudah nangkring ganteng di sebuah sudut perempatan lampu merah. Mereka berdua asyik memerhatikan kebiasaan para pengguna jalan di pagi hari. Bertepatan pula acara konvoi para pendukung tim sepakbola Persib yang akan menonton laga kesebelasan kebanggaan kota Bandung itu dengan tim dari pulau Kalimantan.

Ada yang membawa bendera besar sambil membonceng temannya. Ya mending kalau duduk, terlihat oleh Teddy, si pembawa bendera itu berdiri di atas jok motor saat lampu perempatan menyala merah. Teddy bangkit dari tempat duduk dan mendekati motor modifikasi itu. “Punten, A’. Bisa pinggir sebentar? Saya mau ngobrol,” sapanya ramah.

Si pengendara motor menatap Teddy bingung. “Buat apa?”

“Mau ngobrol aja. Viking ya?” Teddy masih membujuk.

“Iya, kita mau nobar nih,” jawab si pengendara itu tak sabar.

“Makanya kita ngobrol di trotoar aja. Bentar lagi ijo nih,” Teddy tetap bersikukuh mengajak kedua remaja itu untuk menepi.

Akhirnya sepeda motor dengan knalpot berisik itu pun menepi. “Om bukan dari kantor polisi kan?” Tanya si pembawa bendera curiga. Teddy ngakak.

“Hahahaha, bukan! Saya masih mahasiswa tuh di Jalan Ganeca. Santai aja. Nama saya Teddy. Ini Ilham, teman gokil saya. Aa berdua siapa?”

“Saya Roni. Kalau ini Jajang. Kita berdua nih mau nobar. Katanya mau konvoi dulu. Tapi kayaknya kita ketinggalan rombongan,” jawab si pembawa bendera.

“A Roni dan A Jajang, sebelum melanjutkan perjalanan, boleh ya saya memberikan ini?” Teddy menyodorkan selembar peraturan tilang dan denda. Jajang menghela napas jengkel.

“Wah, beneran nih si Om dari kantor polisi!” dengusnya hendak marah.

“Eits, bukan! Serius! Ini hanya kampanye tertib berlalu lintas. Lagian ini tugas dari dosen saya. Mangga atuh dibaca dulu. Dimengerti. Kalau saya polisi, sudah berapa kerugian Aa? Knalpotnya berisik, helm nggak standar, lampunya pecah, dan A Roni malah berdiri di jok. Itu semua berbahaya,” Teddy tetap menebar senyuman.

Sementara Teddy berbincang dengan dua pendukung Persib itu, Ilham berjalan ke zebra cross ketika lampu merah menyala. Dia membantu mengarahkan agar para sepeda motor itu berada di belakang garis belang-belang untuk pejalan kaki yang hendak menyeberang. Dia juga mengingatkan sebuah mobil sedan untuk mundur dari batas zona merah yang hanya boleh diisi oleh motor.

Ilham dengan cueknya memeragakan cara menggunakan helm yang benar. Melengkapi atribut pengendara motor dengan sarung tangan dan jaket. Kemudian bergantian memeragakan cara memakai sabuk pengaman untuk pengendara mobil. Gaya pantomimnya ternyata dibantu oleh Mario dan Johan.

Hal itu berlangsung dalam sepuluh kali lampu menyala merah. Kemudian ketiganya beristirahat di trotoar dengan napas memburu. “Wah, edan capeknya,” Mario tampak sangat berkeringat.

“Tapi lumayan eksis lah, Mar,” Teddy terkekeh. Dia baru berkoordinasi dengan beberapa anak muda dari komunitas lain yang juga sedang berkampanye hal yang sama.

“Tingkat kecelakaan di Bandung harus mulai bisa diredam dari sekarang! Kalau para pengguna jalan nggak bisa tertib, gimana bisa dibilang siap menjadi negara maju?” Ilham berapi-api dalam berbicara sambil sesekali menenggak minuman bersoda.

“Semua dimulai dari diri lu sendiri, Ham. Ganti motor butut modifikasi lu itu. Ganti helmnya juga,” Johan mengingatkan.

“Lu kan bisa beli di tokonya Sri tuh. Cewek lu masa nggak kasih diskon buat elu?” Mario nyengir.
Ilham tersenyum tipis. Dia mengangguk dan mulai menyadari satu hal.


***


Ternyata, tugas untuk terjun ke jalanan bukan dari dosennya, melainkan dari Om Jimmy. Pria tua itu sangat khawatir dengan kebiasaan Ilham yang bermotor nyaris tanpa aturan. Selalu ada ide nyeleneh yang nggak banget, tapi ternyata efektif.

Ketika suatu malam, Ilham datang ke kafe Om Jimmy dengan motor seken yang lebih “manusiawi”, serta merta sang pemilik kafe berteriak, “Mario! Bikin pizza istimewa malam ini! Kita pesta! Kita rayakan tobatnya Ilham! Hahahaha….”

Tawa Om Jimmy menggema. Ilham tersenyum tipis rikuh. Setidaknya, sudah seminggu ini dia aman dari hadangan polisi. Tak ada lagi tilang. Uangnya bisa untuk traktir pacarnya nonton ke bioskop.
Hati riang, pikiran tenang, dan dompet pun aman. Tak akan ada lagi surat tilang memenuhi dompetnya.


---SELESAI---

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan. #SafetyFirst. Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkenan mampir dan meninggalkan jejak di sini. Untuk pemesanan buku, apabila keterangan dalam artikel dirasa kurang jelas, bisa menghubungi surel andiana(dot)menulis(at)gmail(dot)com

Salam hangat :)